Sabtu, 28 Juli 2012

Baju Koko vs Film Kolosal Cina


Baju Koko vs Film Kolosal Cina

Udara terasa panas sekali, dan banyak barisan kaum adam berjalan berbaris di pinggiran jalan, berpeci, bersarung, ada juga yang memegang sajadah ditangannya berpapasan denganku. Sepertinya mereka akan menuju ke sebuah masjid. Aku yang berpeluh keringat berjalan kaki membawa bungkusan kecil meninggalkan minimarket yang baru saja kukunjungi dan baru sadar kalau ternyata ini adalah hari Jum’at, jadi mereka yang kulihat itu adalah laki - laki muslim yang masih mengingat akan Tuhannya (Allah SWT).

Langkah semakin kupercepat, karena aku merasa malu melewati barisan mereka. Meskipun langkah kupercepat, sesekali aku melirik ke sebagian dari mereka, mereka manis-manis. Eh... Tapi bukan aku bermaksud genit melihat ke arah mereka. Tapi yang menjadi perhatianku adalah baju atasan yang mereka kenakan, baju tanpa kerah dan terkadang ada aksesoriris bordiran yang menghiasinya, yang menjadikan mereka terlihat manis. Pasti semua tahu itu baju apa, itu adalah baju koko. Baju koko yang setahu aku setelah membaca sejarah artikel-artikel tentang baju ini, baju ini sebenarnya baju yang berasal dari masyarakat Cina yang telah turun temurun, yang aslinya baju tersebut bernama “Tui-Khim” atau ada juga yang menyebutnya “Tikim”. Tapi mengapa di Indonesia baju Tui-Khim ini disebut dengan baju Koko? Menurut penjelasan budayawan Remy Sylado, Ini dikarenakan pria-pria Tionghoa yang bermukim di Indonesia pada masa abad 19-20an awal sering memakai baju Thui-Khim tersebut. Dan dikarenakan yang memakai baju Thui-Khim ini adalah engkoh-engkoh dan akhirnya berubah ejaan menjadi koko ( sebutan bagi warga kita untuk pria cina ), maka lambat laun baju Thui-Khim pun berganti nama dengan sebutan baju Koko. Selain itu baju koko ada  sebelum Islam menyebar di Indonesia. Malah justru baju koko yang sering di pake pria muslim-walau sebenernya baju ini sangat umum untuk agama apapun. Dan mengapa baju koko pada saat ini identik sekali dengan pria muslim? Aku juga masih bertanya-tanya.

Menurut dari artikel yang aku baca :

Menurut David Kwa, sejak berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) atau Perhimpunan Tionghoa –perhimpunan modern pertama di Hindia Belanda pada 1900; kemudian runtuhnya Dinasti Cheng (Mancu) pada 1911; serta makin banyaknya pria Cina yang diperbolehkan menggunakan pakaian Belanda setelah mengajukan gelijkstelling (persamaan hak dengan warga Eropa), baju tui-khim, celana komprang, dan thng-sa mulai ditanggalkan oleh orang-orang Cina sendiri dan berganti dengan pakaian gaya Eropa atau Belanda, kemeja, pantalon, dan jas buka serta jas tutup. 

Baju koko terkadang suka disamakan dengan “baju takwa”, padahal berbeda. “Baju takwa” tidak diadopsi dari pakaian thui-kim, tapi hasil modifikasi dari baju tradisional Jawa, yaitu Surjan. Surjan merupakan salahsatu pakaian adat Jawa yang khusus dipakai pria sehari-hari. Pakaian jenis ini bisa dipakai untuk menghadiri upacara-upacara resmi adat Jawa dengan dilengkapi blangkon dan bebetan. 

“Surjan berasal dari kata Su dan ja, yaitu nglungsur wonten jaja (meluncur melalui dada), sehingga bentuk depan dan belakang panjang,” tulis AM. Hidayati dalam Album Pakaian Tradisional Yogyakarta.

Adalah Sunan Kalijaga yang kali pertama memodifikasi surjan menjadi “baju takwa”. Dari sembilan wali, hanya dia yang pakaiannya beda. Menurut Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga tidak menggunakan jubah dan sorban. Tapi merancang sendiri bajunya yang disebut “baju takwa”. 

Yaitu, baju jas model Jawa dengan kerah tegak dan lengan panjang. “Sunan menciptakan baju yang disebut ‘baju takwa’. Surjan Jawa yang semula lengan baju pendek, diganti dengan lengan panjang. Dengan kreasi semacam inilah Sunan mengajarkan Islam tanpa menimbulkan konflik di masyarakat,” tulis Achmad Chodjim dalam Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat.

Namanya saja “baju takwa” pasti disimbolisasikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Menurut M. Jandra dalam Perangkat/Alat-alat dan Pakaian serta Makna Simbolis Upacara Keagamaan di Lingkungan Keraton Yogyakarta, “baju takwa” pada lehernya terdapat tiga kancing yang melambangkan Iman, Ikhsan dan Islam. Tiga kancing yang terdapat pada bahu kanan dan bahu kiri melambangkan dua kalimat sahadat. Enam kancing yang terdapat pada kedua lengan kiri dan kanan melambangkan rukun Iman. Dan lima kancing depan melambangkan rukun Islam.

Sejak rezim Orde Baru berkuasa hingga dekade 1980-an, Soeharto mempersempit ruang gerak Islam –termasuk simbol-simbol keislaman– karena dianggap akan mengganggu kemapanan kekuasaan. Namun, sejak dekade 1990-an, berbagai unsur Islam memperoleh kesempatan luas dalam struktur negara dan ruang publik. Ini disebut “politik akomodasi Islam”. Dari empat jenis akomodasi, salahsatunya adalah akomodasi kultural berupa diterimanya ekspresi kultural Islam ke dalam wilayah-wilayah publik. “Seperti pemakaian jilbab, baju koko, hingga ucapan assalamu’alaikum,”
Sejak saat itu hingga kini pemakaian baju koko kian masif. Ia hampir menjadi pakaian resmi beribadah. Seperti kata Rosid, sebagian besar yang salat di masjid pakai baju koko. Baju koko menjadi komoditas yang menggiurkan, terutama menjelang lebaran, karena tradisi tunjangan hari raya (THR), salahsatunya dengan baju koko untuk dipakai salat Id.
(http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-302-koko-masuk-islam.html)

Baju koko juga ada yang menjadi ciri khas baju daerah selain adat Jawa, yaitu baju adat Betawi yang desainya mirip dengan baju koko dan di padankan dengan celana komprang/batik khas betawi, dan juga baju khas orang Minahasa yang motifnya serupa dengan baju koko, dan masih banyak lagi. Baju koko juga telah banyak dipadu padankan motifnya, misalnya bermotif batik.
Itulah sedikit cerita tentang sejarah baju koko yang aku tahu, kalau mau lebih jelasnya cari sendiri ya beritanya. Hehehe
Tapi kayanya aku juga harus baca novelnya Remy yang berjudul “Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.” Katanya sih di situ menjelaskan tentang baju koko. Nanti deh kalo ada waktu.

Lepas dari sejarah baju koko tersebut, yang membuat aku memperhatikan baju koko mereka yang menuju mesjid  adalah karena aku teringat akan film-film Cina bergenre kolasal yang sering kutonton. Entah mengapa aku sangat menggemari film-film Cina kolosal/kolosal cina tersebut.  Menurutku film-film Cina kolosal lebih berkesan dan penuh esensial; actionnya dapet, sejarahnya dapet, dan romancenya juga lebih mengharu biru, pokoknya penuh makna dibanding drama korea yang lebay dan lagi buming sekarang, hohoho… Sebenarnya bukan hanya Film Cina saja, film dari Korea, Jepang, Taiwan, dan yang lainnya asal bergenre kolosal Asia Timur aku sangat menyukainya, hanya yang lebih sering aku tonton memang film kolosal dari Cina. Sebut saja misalnya IP Man, Hero, Crouching Tiger Hiden Dragon, dll. Banyak di film-film tersebut para lelaki memakai baju yang kita sebut koko. Namun yang kulihat di film-film tersebut, bajunya sedikit agak lebih panjang, hingga lutut. Mereka juga ada yang seperti mengenakan sarung, hanya saja bermotif polos, tidak kotak-kotak ataupun batik seperti yang sering kita lihat pada laki-laki muslim di negara kita. Dan yang kulihat di film-film kolosal pun mereka berkuda dan membawa pedang panjang (kebanyakan lihat film kolosal n komik nih #gubrak)

Sejenak aku menghentikan langkah kecilku dalam panasnya cuaca, aku berdiskusi dengan hatiku sendiri, heii… baju tersebut mereka gunakan untuk beribadah, baju yang asal muasalnya dari Cina, dari masyarakat yang bebeda agama dengan orang-orang yang sedang memakainya menuju mesjid.
 Ya.. memang baju koko kita ini lebih identik sebagai baju untuk melaksanakan ibadah bagi pria muslim; untuk sholat, acara pengajian, bahkan hari raya besar−Lebaran sepertinya baju ini wajib melekat di badan kaum lelaki dinegara kita ataupun bangsa Melayu, di banding dengan baju adat atau tradisional lainnya (sekilas sejarahnya di atas). Walaupun sebenarnya baju ini bukan baju keagamaan, tapi aku yakin kalau sekarang baju koko menurut lebih identik dengan baju yang bernuansa religi, iya kan?!!!. Tapi terserah pandangan kalian lah, hehee.

Sekali lagi aku bergeming, karena kita tahu bahwa baju tersebut asalnya memang dari Cina, ya seperti yang kulihat di film-film Kolosal Cina, dan yang aku tahu adalah, meski Orang Cina mengenakan baju tersebut, tapi mayoritas mereka bukanlah seorang muslim, baju terasebut mereka kenakan karena memang itu adalah baju khas budaya mereka, seperti bangsa kita yang khas dengan kebaya dan batiknya, ya walaupun memang diantara Orang Cina juga ada yang muslim. Hingga akhirnya hatiku bertanya, Tuhan… ternyata Engkau menciptakan manusia dengan berbangsa-bangsa yang majemuk ini, yang saling berbeda dari berbagai sisi pun untuk saling mengenal satu sama lain meskipun dengan keyakinan yang berbeda, dan bukan untuk saling menginjak dan mengkerdilkan. Contohnya budaya baju koko ini. Dan aku tersadar kalau aku ini heran dengan hal tersebut, hal yang sering aku lihat dari aku kecil. Hingga akhirnya bibirkupun mengembang, lalu tertawa kecil dan akhirnya jauh meninggalkan barisan kaum lelaki yang berjalan menuju masjid……..

*renyari 
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar :

Posting Komentar